PENANGKAPAN DIPONOGORO-RADEN SALEH (1857)


Lukisan berukuran 112 × 179 cm ini dilukis dengan cat minyak di atas kanvas. Fajar terlihat, pemandangan pegunungan, dan gersang, cuaca tenang tanpa angin, tak ada sehelai daun pun yang bergoyang di pepohonan.Lukisan tersebut terbentang ke arah tepi kanan kanvas, menghadap ke timur laut, tempat sinar matahari terbit dapat dilihat.


Pangeran Diponegoro, yang merupakan tokoh sentral dari gambar itu, berdiri di depan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock di tangga sebuah rumah besar dengan tiang-tiang.Diponegoro berpakaian sebagai seorang pejuang Muslim dalam jubah putih dengan celana panjang, selendang disampirkan di bahunya, dan ikat pinggang bersulam emas, yang menjadi tempat untuk menggantung tasbih


Karena penangkapan Diponegoro terjadi pada bulan Ramadan, ketika umat Islam dilarang melakukan permusuhan, senjata khas pangeran, keris, tak terlihat di ikat pinggangnya yang seharusnya menunjukkan niat damainya. Di kepala pangeran adalah sorban hijau, melingkari topi yang dicat warna putih dan merah sebagai simbol perjuangan dan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial, yang muncul jauh sebelum diadopsi sebagai bendera Indonesia.


SENSASI:

Diponegoro tampaknya berjuang untuk menahan perasaannya, seperti yang diharapkan dari seorang priyayi, tetapi wajahnya masih penuh kemarahan dan penghinaan.Bahasa tubuh Diponegoro, khususnya sikap tegas yang dipadukan dengan dagu yang terangkat dan dada yang membusung, menunjukkan bahwa ia tak takut pada Belanda.Di dekatnya, di sisi kiri de Kok, terlihat sekelompok perwira Belanda, diantaranya sejarawan seni mengidentifikasikannya sebagai Kolonel Louis du Perr, Letnan Kolonel V. A. Rust, Ajudan Mayor François Vincent Henri Antoine de Stuers.


Orang Belanda bergaya dalam pose statis dan melihat ke kejauhan tanpa menatap siapa pun. Di sebelah kanan Diponegoro berdiri, mungkin putranya, Raden Mas Sodewo, di belakangnya adalah residen Kedu, Franciscus Gerard Valk, Mayor Johan Jacob Perier, dan Kapten Johan Jacob Rups.[29] Seorang wanita, mungkin istrinya Raden Ayu Retnaningsih, telah jatuh di kaki Diponegoro berharap pangeran tidak dibawa pergi, dia mengulurkan tangannya kepadanya.


Diponegoro dikelilingi oleh pengikutnya yang dilucuti yang berbondong-bondong secara tidak teratur — dari prajurit biasa sampai bangsawan yang mengenakan sarung bermotif. Dengan menggunakan teknik kedalaman ruang, Saleh menggambarkan dengan sangat detail orang-orang yang berdiri di latar depan, sedangkan garis luar lainnya di latar belakang sengaja diburamkan.

Kepala orang Belanda yang digambarkan tampak lebih besar ketimbang tubuh mereka, sedangkan kepala orang Jawa proporsional secara realistis. Saleh 2 kali menggambarkan dirinya di kanvasnya sendiri di tengah kerumunan pengikut Diponegoro: ciri mukanya dapat dilihat pada seorang Jawa yang jatuh di kaki pemimpin pemberontakan serta pada orang lain yang berdiri di dekatnya.


PRESEPSI:

Komposisi di lukisan cenderung peningkatan bertahap dalam strukturnya di sepanjang diagonal: pose karakternya berganti dari yang duduk dan berlutut hingga mereka yang berdiri dalam pertumbuhan penuh.Kanvas itu penuh dengan suasana kesedihan dengan penggambaran wajah-wajah termenung para pengikut Diponegoro dan cara-cara kasar para perwira Belanda, tanpa adanya manifestasi kemenangan kolonialisme atas harkat dan martabat orang Jawa.


KESIMPULAN:

Karya ini menggambarkan salah satu peristiwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia ketika melawan penjajah yang diabadikan dalam bentuk lukisan. Peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda sekaligus menandai berakhirnya perlawanan Diponegoro pada tahun 1830. Sang Pangeran diundang ke Magelang untuk membicarakan kemungkinan gencatan senjata, namun kenyataannya Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya ditangkap dan diasingkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analisis intangible dan presepsi warna